Wajah ‘65

Rasanya, keluarga saya tidak punya sangkut paut langsung dengan tragedi ’65. Bapa (almarhum) hanya pernah bercerita, suatu saat, ia lewat sebuah tempat di mana para tapol ’65 sedang dipekerjakan oleh tentara. Petugas menghentikan dia, dan menuntutnya untuk memberi hormat. Bapa menolak tegas: untuk apa memberi hormat pada tahanan? 

Bapa menghabiskan masa kerjanya di Departemen P&K, anggota Korpri, pilih Golkar tentu saja. Ibu, anggota Dharma Wanita. Warisan Bapa yang paling saya anggap berharga adalah buku “30 Tahun Indonesia Merdeka”. Pengaruh doktrin Orba jelas tampak di keluarga saya.

Namun, saat saya mengklaim buku itu sebagai milik saya (saudara-saudara lain tidak ada yang membantah klaim saya), sebenarnya saya sudah punya kesadaran berbeda. Saya dibesarkan oleh versi sejarah Orba, lalu di masa dewasa, saya mencari yang lain.

Kalau diingat-ingat, kesadaran saya berubah setelah bertemu dengan karya-karya sastra, di antaranya karya Umar Kayam dan Ahmad Tohari, yang “memberi wajah” pada tragedi ’65. Saya kira, keberhasilan Orba adalah mendehumanisasi siapapun yang dianggap terlibat G 30 S. Lalu, ada sastrawan yang menunjukan, mereka manusia juga. Seorang istri, suami, anak, ayah, ibu, punya hati, dan perasaan. Saya heran, bagaimana bisa, sejarah sekian lama menghapus wajah kemanusiaan begitu banyak orang?

Heru Hikayat
#1965setiaphari
#living1965

Film Itu

Waktu itu adalah tahun pertama saya di sekolah dasar. Di antara semua teman hanya saya yang belum nonton film wajib itu. Tidak perlu, kata ibu. Tahun kedua, saya tanya lagi ibu. Jawabnya, tidak perlu. Tahun ketiga, karena saya sudah lebih besar, saya tagih lagi. Ibu masih menjawab tidak perlu. Ya marahlah saya meminta penjelasan. 

Lalu ibu bercerita tentang sebuah kisah, sebuah kisah tentang bapak. Sebuah kisah yang membuat saya menangis saat itu tanpa saya tahu sebabnya. Mungkin, mungkin, mungkin karena saya sedih atas sejarah bapak saya, apa yang dia alami, atau mungkin saya sudah cukup besar untuk bisa mengerti bahwa kuasa atas diri kami, atas diri saya, diri bapak, ataupun diri ibu, tidak pernah kami miliki. Bahwa kami bisa dipisahkan kapan saja.

Ratrikala Bhre Aditya
#1965setiaphari
​#living1965

Bagaimana Kakekku Dibunuh

​Selama bertahun-tahun, banyak orang yang rupanya entah secara sukarela, atau karena ditanya, membagi cerita mereka tentang di mana dan bagaimana kakekku dibunuh. Aku tidak pernah mendengar langsung semua cerita ini – biasanya dari ayahku, yang kemudian diiyakan anggota keluarga lain, juga satu kali dari pamanku yang sudah masuk bruderan di Madiun ketika kakekku diambil.

Seingatku, ada yang bilang dia digantung di pohon kamboja di dekat kuburan Bali di pojok sana. Lalu, ada juga yang bilang bahwa dia ditahan dulu, selama beberapa waktu, sebelum kemudian ditembak. Yang bercerita tentang penahanan ini kabarnya juga menyampaikan bahwa dia sangat terkesan dengan kakekku. “Orangnya baik sekali,” kata dia. 

Pamanku tadi, yang ketika jadi bruder sempat di Madiun sebelum kemudian bertugas mengajar di Flores, akhirnya keluar dari bruderan, dan kembali ke Bali. Di Denpasar, pekerjaannya memberi les musik, bisa datang ke rumah. Karena dia punya penyakit mabuk kendaraan, sepeda menjadi alat transportasi utamanya. Suatu hari, dia mengajar di rumah seorang muridnya yang Sarjana Hukum. Kebetulan ayah si murid, seorang pengacara, juga sedang berkunjung. Entah bagaimana ceritanya, ayah si murid akhirnya berhasil mengetahui latar belakang pamanku, “Oh, jadi kamu anak dia tokh?” katanya. Lalu dengan penuh kepuasan, ayah murid pamanku itu melanjutkan ceritanya, “Bapakmu itu mati di tanganku, menguik seperti babi!”

Pamanku tidak bisa mengerti, bagaimana seorang pengacara, seorang ahli hukum, bisa menyampaikan cerita itu dengan begitu puasnya.

Cerita yang paling aku suka datang dari ayahku. Cerita ini juga menjadi semacam tradisi keluarga, tapi kisahnya bukan tentang bagaimana kakekku mati. Hampir setiap kali cerita hilangnya kakekku muncul ke permukaan dalam kumpul-kumpul keluarga, entah ayahku atau pamanku yang lain akan berkata, dengan atau tanpa bumbu bunga-bunga lainnya, “Ah, paling-paling dia sekarang sudah senang, di negeri seberang, dan hidupnya bahagia.”

Tintin Wulia
#1965setiaphari
​#living1965

Papua Barat, 1965

Pada tahun 1969, setelah berhasil menghancurkan sebagian besar basis-basis dari kelompok rakyat yang sering disebut sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, Brigjend Sarwo Edhie Wibowo datang ke Papua Barat, kali ini sebagai Panglima dari Kodam XVII/Cenderawasih. Ia bertugas ‘mengamankan’ apa yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Yang dimaksud dengan mengamankan itu adalah menurunkan roket di Enarotali, Pegunungan Tengah setelah pesawat Sarwo Edhie ditembak sekelompok polisi. Seperti dilaporkan New York Times, Indonesia menolak tuduhan bahwa mereka telah membom warga sipil. Tapi siapa yang peduli? Siapa yang peduli apa yang terjadi di Enarotali pada tahun itu dan tahun-tahun selanjutnya? Siapa yang peduli apa yang terjadi di Biak dan Manokwari di tahun 1965 dan tahun-tahun selanjutnya?

Dua bulan sebelum peristiwa September 30, 1965, ribuan orang Papua dibunuh oleh pasukan militer Indonesia dalam sebuah operasi bernama “Operasi Sadar”. Menurut al Rahab (2006), operasi di bawah komando Pangdam Brigjen R. Kartidjo bertujuan tentu saja bukan untuk menyadarkan, tapi untuk menghancurkan kelompok perlawanan Papua Barat yang di bulan Juli 1965 melancarkan perlawanan terorganisir pertama terhadap Indonesia. Militer Indonesia menamakan mereka Organisasi Papua Merdeka.

Namun beberapa tahun kemudian, para jenderal berganti pikiran. Maka dinamakanlah kelompok-kelompok bersenjata orang Papua ini sebagai gerakan pengacau liar (GPL) lalu gerakan pengacau keamanan (GPK). Sekarang ini mereka juga disebut kelompok kriminal bersenjata (KKB). Pada umumnya militer Indonesia berpendapat, orang Papua tidak memiliki motif lain selain menjadi pengacau atau kriminal dengan membakar markas-markas tentara. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Gatra di tahun 1966, Letnan Kolonel (purnawirawan) D. Tandigu mengatakan bahwa gerakan OPM bukan dimotivasi oleh nasionalisme, melainkan oleh sikap frustrasi.
 
Tapi entah mengapa, Indonesia sepertinya tidak pernah bisa mengendalikan perasaan orang Papua itu. Kalau hanya karena frustrasi, tentu saja orang Papua sudah bisa bahagia dengan NKRI. Toh, Indonesia mengatakan telah mampu membangun orang Papua dan menjadikan mereka bagian dari rakyat Indonesia. Indonesia mengklaim dirinya telah membebaskan orang Papua dari penjajahan. Tapi mengapa orang Papua tidak pernah merasa bebas di bawah Indonesia? Itu pertanyaan sulit, bukan?

Veronika Kusumaryati
#1965setiaphari
#living1965

This Film

Umur saya 9 tahun waktu film ini keluar di tahun 1984. Tanpa tahu apa-apa kami diboyong ke gedung bioskop (sebelumnya orang tua disuruh bayar) dan dipaksa menonton film sadis ini. Selama bermalam-malam saya mengalami mimpi buruk tapi juga sedih dan marah pada PKI, yang seperti digambarkan di film itu, membunuh Ade Irma Suryani yang masih kecil seperti saya.

Orang tua saya selalu bilang: “ga usah dipikirin. Itu cuma film.” Setelah SMP kelas 2/3 dan mulai baca-baca buku saya baru mengerti maksud orang tua saya. Mereka berusaha mengimbangi propaganda Orba dengan cara yang sangat halus. Mereka bermaksud bilang bahwa film ini isinya tidak benar, tapi tidak disampaikan dengan gamblang karena takut sebagai bocah saya keceplosan di depan guru. Dan baru setelah usia remaja itulah orang tua saya, terutama Ibu, mulai terbuka mengajak diskusi soal isu ’65 ini.

Saya beruntung punya orang tua yang bisa mengimbangi propaganda Orba tersebut. Tapi tidak semua anak seberuntung saya. Banyak anak yang tumbuh meyakini kebohongan-kebohongan Orba itu.

Dan sekarang, 19 tahun setelah reformasi, pengalaman saya (dan semua anak generasi saya) tengah berulang pada banyak anak kecil di negara ini. Semoga mereka juga terselamatkan seperti saya. Semoga.

Dhyta Caturani
#1965setiaphari 
#living1965

Genjer-genjer

Pengetahuan saya mengenai 1965 terbatas sebagai sebuah teror besar masa lalu yang direproduksi dalam ingatan sebagai “G30S/PKI”. Tetapi itu mulai berubah setelah era Reformasi. Saya ingat betul; menginjak tahun pertama sebagai mahasiswa, film berjudul Gie ditayangkan di bioskop. Sebagai anak muda yang terinspirasi dengan Soe Hok Gie yang kritis, selepas menonton film saya pun mencari tahu lebih kondisi sosial-politik kala itu terutama seputar peristiwa 1965 dan mencoba mengikut dia – membaca habis buku karyanya sampai mengunduh lagu-lagu dalam filmnya untuk diputar dengan penuh semangat.

Semangat ini pun ternyata membuat saya bersua dengan sisi lain Ibu. Ketika saya pulang ke rumah dan memperdengarkan salah satu lagu dari film Gie yang berjudul Genjer-genjer, murkalah Ibu saya. Ibu pun memarahi saya yang telah berani memutar lagu haram milik PKI – sebuah organisasi yang baginya telah makar, merusak damai dan mencelakai banyak orang. Saya yang tidak tahu apa-apa, dengan polos meluruskan bahwa lagu itu bukanlah eksklusif milik PKI dan kita pun harus berani bertanya dan mengkritisi propaganda kebencian terhadap komunisme yang selama ini ditanam Orde Baru. Tak pelak, inipun ternyata membuat Ibu lebih murka; beliau menghardik saya yang tidak tahu apa-apa atas kekejaman PKI di masa itu.  

Setelah lewat beberapa masa, saya pun akhirnya tahu mengapa Ibu murka mendengar lagu itu. Paman saya pun mau bercerita tentang satu sisi pengalaman Ibu yang tidak pernah ia bagi, bahkan kepada anak-anaknya. Di sekitar tahun 1965, Ibu adalah gadis kecil yang hidup dalam keluarga sederhana di sebuah kota kecil di Jawa Timur, yang harus mengontrak untuk tempat tinggal mereka. Ternyata rumah yang mereka kontrak tersebut adalah bekas kantor yang pernah digunakan oleh PKI. Masa-masa pemberangusan PKI pasca 1965 sangatlah traumatis baginya. Ibu harus melihat rumah yang ia tinggali dilempari batu dengan brutal karena masyarakat luas masih ada yang mengira itulah kantor PKI.

​Ibu bukan seorang atau keluarga anggota PKI, tapi trauma atas perlakuan orang pada tempat tinggalnya membuat beliau mengubur perih. Benci pun akhirnya tertuju bukan kepada orang yang melempar rumahnya (yang saya yakin Ibu tidak tahu mereka itu siapa), tapi kepada PKI yang telah membuat orang-orang mengasosiasikan tempat tinggalnya sebagai sarang hantu.

Saya yakin, Ibu tidak lahir untuk membenci. Ibu juga bukanlah orang yang ingin mencelakai orang lain. Beliau hanya seorang perempuan yang terjebak dalam sejarah kelam ini dan terpojok untuk menyimpan pahit dalam-dalam; dan saya hanya bisa melihatnya sebagai representasi peliknya tragedi ini. Traumanya atas masa itu bukan muncul dari bencinya pada orang-orang kiri saat itu, tapi pada hantu aksi kekerasan.

Sampai saat ini Ibu masih mengernyit mendengar saya mengajaknya bicara soal peristiwa 1965. Saya berharap Ibu berangsur-angsur mau meredakan pedihnya. Saya pun berharap, cerita ini memperkaya kita bahwa peristiwa 1965 tidak hanya berdampak pada orang-orang yang secara aktif terlibat. Ada banyak orang yang secara pasif terdampak dan membekas kuat dalam hidup mereka; dan cerita-cerita mereka layak untuk didengar.

Ketika banyak diskusi mengenai peristiwa di tahun 1965 menekankan sisi korban versus pelaku, yang sering terseret dan berujung pada narasi keterpaksaan satu kelompok untuk membinasakan kelompok lain sebelum mereka sendiri yang dibinasakan; saya selalu ingat perjumpaan saya pada sisi lain Ibu.

Mungkin kita semua sebenarnya adalah korban.

Randy
#1965setiaphari #living1965

Aku Ingin Mereka Tetap Ada

Dua laki-laki ini adalah kakekku. Djauhar Arifin Santosa adalah ayah dari ibuku, sedangkan Boentardjo Amaroen merupakan ayah dari bapakku. Mereka sudah lama saling mengenal, jauh sebelum ibu dan bapakku menikah – mungkin sejak Perang Kemerdekaan. D. A. Santosa adalah tentara PETA (Pembela Tanah Air) dan Boentardjo seorang pejuang gerilya di daerah Klaten di bawah pimpinan Dr. Tjokronegoro. Setelah Indonesia merdeka, D. A. Santosa dan Boentardjo tidak melanjutkan karir militer mereka, tapi mengabdi sebagai guru di Perguruan Taman Siswa.

Saat peristiwa 65 terjadi, mereka ditahan di bulan yang sama, November 1965. D.A. Santosa ditahan di Semarang, lalu diadili di Cilacap dan divonis dua puluh tahun penjara. Boentardjo ditahan di Wirogunan, Jogjakarta, dan tidak pernah kembali setelah hilang antara Februari-April 1966.

Kemerdekaan mereka dirampas karena dituduh memberontak pada pemerintahan yang sah. Kemudian pemerintahan tersebut juga dilengserkan karena dianggap terlibat Peristiwa 65. Tidak ada alasan satupun yang bisa diterima akal sehat atas apa yang terjadi pada Tragedi 65 dan segala yang menyertainya.

Alasanku menceritakan kisah D. A. Santosa dan Boentardjo Amaroen adalah karena sejarah tak pernah bisa ditutupi. Karena aku ingin mereka tetap ada dalam kehidupanku, keluargaku serta teman-temanku. Dan karena mereka adalah kakekku.

Danang Sutasoma
#1965setiaphari #living1965

Ayah dan Cerutunya

Ada kejadian awal tahun 1960an yang pernah diceritakan ibu kepada saya, yang selalu saya ingat.

Saat itu, Presiden Soekarno dan ayah saya, ketua komite sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) Dipa Nusantara Aidit, sedang berkunjung ke Kuba. Mereka bertemu dengan Fidel Castro, Mao Tje Tung dan Che Guevara di sana.

Seperti biasanya, Fidel mengeluarkan cerutu Havana kebanggaannya, dan menawarkannya kepada semua tamunya. Ayah menolak.

Fidel, Mao, Che dan Soekarno mulai menikmati cerutu mereka, sambil mengolok-olok ayah. “Seorang pejuang rakyat harus bisa menikmati cerutu di waktu senggangnya,” kata mereka. Keempat pemimpin besar itu pun terus memperagakan bagaimana gagah dan nikmatnya menghisap cerutu.

Ayah mulai tertarik, dan mengambil sebuah cerutu. Soekarno tampak tidak bisa menahan gelinya – dia tertawa terbahak-bahak. Kepada Mao, Fidel dan Che dia hanya berkata, “lihat saja, ini bakal jadi lucu.”

Benar saja, tak lama kemudian, begitu ayah mencoba hisapan pertama, dia terbatuk-batuk hebat. Mao, Fidel dan Che ikut terpingkal-pingkal bersama Soekarno, sambil terus mengolok-olok ayah. Akhirnya, ayah menyerah. Dengan muka memerah, dia letakkan cerutu yang baru terbakar itu ke sebuah asbak.

Soekarno sangat kenal ayah dan tahu benar bahwa ayah saya tidak pernah merokok. Apalagi cerutu!

Kejadian ini diceritakan ayah kepada ibu sepulangnya ke rumah. Kata ibu waktu itu, “Ya sudah, mungkin saatnya kau mulai belajar menghisap cerutu  seperti mereka-mereka itu.” Jadi, beberapa hari kemudian, malam-malam ayah menanyakan pada ibu di mana cerutu oleh-oleh dari Fidel disimpan.

Ibu tersenyum penuh pengertian. Inilah malam di mana suaminya, Dipa Nusantara Aidit, ketua komite sentral PKI, partai komunis terbesar di dunia, akan mulai belajar menghisap cerutu.

Ayah mulai membakar cerutu itu. Namun seperti sediakala, kembalilah dia terbatuk-batuk hebat.

Kali ini ibulah yang terpingkal pingkal. Dia bisa bayangkan bagaimana para tokoh komunis itu melihat ayah: persis seperti saat itu dia menyaksikan betapa parahnya ayah menghisap cerutu.

Ilham Aidit
#1965setiaphari
#living1965

Foto: karya Agan Harahap (kiri), dan koleksi Ilham Aidit (kanan).

Bapak

Setelah aku ingat-ingat semenjak aku remaja, bapakku tidak pernah melihat langsung ke mataku setiap kali kami bercakap-cakap. Dia cenderung melihat ke televisi, koran atau ke luar jendela bila dia sedang menyetir atau disetiri. Kesempatan kami mengobrol memang jarang sekali karena dia bekerja di luar kota dan hanya pulang di akhir minggu. 

Kemudian aku beranjak dewasa dan mulai membaca tulisan-tulisan yang kritis terhadap Orde Baru, terutama tentang peristiwa 65. Aku ingat bahwa aku merasa marah sekali karena rasanya dibohongi habis-habisan selama duapuluh tahun hidup di jaman Orde Baru. Sewaktu buku John Roosa dilarang terbit di Indonesia, dan begitu versi onlinenya muncul aku langsung mengunduh buku tersebut. Aku berencana untuk menjilidnya untuk hadiah pensiun bapakku. Aku berharap kami akhirnya bisa mengobrol tentang peristiwa 1965 dan masa mudanya di Tulungagung.

Ibuku kemudian bercerita kalau kakekku sempat masuk penjara selama tiga hari sewaktu huru-hara 1965-66. Karena dia pernah jalan-jalan ke Uni Soviet (disponsori oleh koperasi tekstil Indonesia) dan juga karena dia anggota PNI. Ibuku sempat membawakan makan dan baju ganti untuknya sewaktu dia di penjara. 

“Kok Ibu dan Mbah nggak pernah cerita?” tanyaku. 

“Buat apa? Toh, Abah ke luar tiga hari kemudian dan itu sudah masa lalu. Ibu malah tidak ingat kalau dia pernah masuk bui kalau kamu nggak nanya” jawabnya. 

Rupanya benar kalau kekerasan di jaman itu memang sudah dinormalkan oleh penulisan sejarah. 

Bapakku akhirnya pensiun tapi aku tidak pernah memberikan buku itu. Ketika dia meninggalkan kami sampai akhirnya kami bertemu lagi beberapa tahun kemudian, dia masih tidak berani melihat mataku. 

Wulan Dirgantoro
#1965setiaphari
#living1965