Selama bertahun-tahun, banyak orang yang rupanya entah secara sukarela, atau karena ditanya, membagi cerita mereka tentang di mana dan bagaimana kakekku dibunuh. Aku tidak pernah mendengar langsung semua cerita ini - biasanya dari ayahku, yang kemudian diiyakan anggota keluarga lain, juga satu kali dari pamanku yang sudah masuk bruderan di Madiun ketika kakekku diambil.
Seingatku, ada yang bilang dia digantung di pohon kamboja di dekat kuburan Bali di pojok sana. Lalu, ada juga yang bilang bahwa dia ditahan dulu, selama beberapa waktu, sebelum kemudian ditembak. Yang bercerita tentang penahanan ini kabarnya juga menyampaikan bahwa dia sangat terkesan dengan kakekku. “Orangnya baik sekali,” kata dia. Pamanku tadi, yang ketika jadi bruder sempat di Madiun sebelum kemudian bertugas mengajar di Flores, akhirnya keluar dari bruderan, dan kembali ke Bali. Di Denpasar, pekerjaannya memberi les musik, bisa datang ke rumah. Karena dia punya penyakit mabuk kendaraan, sepeda menjadi alat transportasi utamanya. Suatu hari, dia mengajar di rumah seorang muridnya yang Sarjana Hukum. Kebetulan ayah si murid, seorang pengacara, juga sedang berkunjung. Entah bagaimana ceritanya, ayah si murid akhirnya berhasil mengetahui latar belakang pamanku, “Oh, jadi kamu anak dia tokh?” katanya. Lalu dengan penuh kepuasan, ayah murid pamanku itu melanjutkan ceritanya, “Bapakmu itu mati di tanganku, menguik seperti babi!” Pamanku tidak bisa mengerti, bagaimana seorang pengacara, seorang ahli hukum, bisa menyampaikan cerita itu dengan begitu puasnya. Cerita yang paling aku suka datang dari ayahku. Cerita ini juga menjadi semacam tradisi keluarga, tapi kisahnya bukan tentang bagaimana kakekku mati. Hampir setiap kali cerita hilangnya kakekku muncul ke permukaan dalam kumpul-kumpul keluarga, entah ayahku atau pamanku yang lain akan berkata, dengan atau tanpa bumbu bunga-bunga lainnya, “Ah, paling-paling dia sekarang sudah senang, di negeri seberang, dan hidupnya bahagia.” Tintin Wulia #1965setiaphari #living1965
0 Comments
Aku ingat pertama kalinya aku “came out”. Sepertinya sekitar tahun 2003, lima tahun setelah Soeharto turun takhta dengan porak porandanya. Aku masih menjaga rahasia keluargaku tentang 1965 dengan sangat teliti - ini satu-satunya akarku sejak lahir.
Hari itu, kami bersepuluh, teman-teman sejak masa kuliah, makan siang. Seperti biasanya, memupuk kebersamaan, kami ngomel tentang Soeharto. Ya, lima tahun setelah rejimnya katanya hilang pun, kegiatan ini masih relevan. Tiba-tiba, tanpa pikir panjang, mulut besarku menyalib akal sehatku dan keluarlah semuanya. “Kakekku kan hilang tahun 1965. Diambil dari rumah, ngga pernah kembali.” Saat itu juga, aku merasa mesti menghilangkan diri. Jantungku berdebar begitu kerasnya dan cepatnya, seolah-olah mengeluarkan semua pendapatnya karena sebentar lagi mati. Pemikiran rasional pertama yang muncul di otakku adalah, “Siapa ya di antara orang-orang ini yang akan bunuh aku sekarang ini?” Beberapa detik kemudian, di ujung meja sana, seseorang berkata pelan, “Kakekku kan juga sempat dipenjara. Tapi kemudian dibebaskan.” Duabelas tahun sudah aku kenal orang-orang ini, dan tidak sekalipun kami bicara di depan umum tentang 1965. Dalam hanya beberapa detik hari itu, dua di antara sepuluh came out. Berapa banyak di luar sana yang seperti kami? Tintin Wulia #1965setiaphari #living1965 Waktu kakekku "dijemput" dari rumahnya tahun 1965, dia bilang begitu: bahwa dia ngga takut, karena dia ngga bersalah. Tokh, dia tetap hilang begitu saja.
Nenekku, yang kehilangan suaminya - waktu aku tanya kenapa dia ngga cabut aja ke mana kek, kenapa justru kemudian balik lagi, justru ke tempat di mana rumahnya sudah rata dengan tanah untuk membangunnya kembali, bilang hal yang sama: kalau aku pergi, orang-orang akan pikir aku memang bersalah. Aku ngga takut, karena aku ngga bersalah, katanya. Kadang-kadang aku cukup merasa marah mengingat ini - karena dengan prinsip ini mereka tidak hanya mengorbankan diri mereka sendiri, tapi juga seluruh keluarga dan keturunannya. Ada saatnya aku merasa bangga juga, meskipun kupikir kadang merasa bangga karena prinsip ini mungkin sebenarnya cukup naif. Yang aku tahu pasti, meskipun mereka begitu keras kepala, mereka orang-orang yang baik - dan aku ingin jadi seperti mereka. Tintin Wulia #living1965 #1965setiaphari Lagi-lagi setahun berlalu, dan di sinilah aku, setahun lebih jauh lagi dari 1965. Setahun lebih jauh aku dari 1998 dan semua tahun-tahun tentang kehilangan itu. Setahun lebih jauh aku dari asal muasalku, tapi tak pernah lebih jauh lagi dari kebenaran.
Andaikan Emak ngga mati tahun 2009. Aku akan tanya dia lagi, dan lagi-lagi, kenapa dia tak pergi jauh. Kan Emak bisa aja pergi keluar Indonesia, kataku - kalau aku jadi Emak, aku akan pergi saja. Ndak, katanya, dalam kata-katanya sendiri yang selalu terbatasi sakit yang tak terlihat: kalau kita pergi, nanti orang bilang, nah, betul kan, mereka memang salah. Lalu dia diam, tidak ada kata lain yang keluar dari mulutnya, dan mengenalnya, aku tahu dia betul. Dia selalu benar. Benarlah dia memisahkan anak-anaknya yang masih kecil dari dirinya dalam kekacauan, sementara segalanya dia bangun kembali. Benarlah dia segera kembali, bagaimanapun sulitnya, justru ke tempat di mana suaminya diambil darinya, justru ke tempat di mana rumahnya dibakar sampai mati, justru ke tempat di mana dia melahirkan semua anak-anaknya kecuali yang paling tua, Papa. Justru ke tempat itu, di mana dia berseru dalam kesabarannya yang tanpa kata-kata: aku di sini, dan kami masih hidup. Bunuhlah aku, jika kalian bisa. Bunuhlah aku, jika kalian bisa, persis seperti ketika kalian bunuh suamiku. Bunuh aku, kalau kalian bisa, persis seperti ketika kalian bunuh suamiku, bagaimanapun caranya kalian bilang kalian bunuh suamiku. Ada yang bilang, dengan begitu puasnya, bahwa dia ditembak di bawah pohon, menguik seperti babi. Ada yang bilang, dengan begitu kagumnya, bahwa dia ditahan dan disiksa sebelum akhirnya dibunuh, dan wahai begitu baiknya dia sebagai manusia. Dan inilah yang disimpannya, begitu baiknya dia sebagai manusia, Ngkong yang ngga pernah kulihat, begitu dekat di dalam nyalinya. Andaikan Ngkong tidak hilang tahun 1965, aku akan tanya dia tentang 1998 dan apakah 1965 masih kurang melukai. Aku akan tanya dia, tahun 1998, kenapa istrinya yang biasanya lebih tegar daripada karang tiba-tiba panggil aku pulang dengan limpahan ruah kegentaran tanpa kata-kata. Aku akan tanya dia kenapa aku harus jaga kehilangan dia sebagai rahasia. Aku akan tanya apakah dia pernah sekali pun setuju dengan Marx atau Mao. Aku akan tanya kenapa dia menyerahkan diri. Kamu bisa saja keluar negeri, kataku, meski aku tahu benar dia tidak akan pergi: dia begitu nasionalis. Aku akan tanya dia kenapa kita begitu hancur. Aku akan tanya dia juga kenapa kita diam. Aku akan tanya dia kenapa kita tetap terbedakan. Tapi lagi-lagi setahun berlalu, dan lagi-lagi, di sinilah aku, setahun lebih jauh lagi dari hari di mana dia dihilangkan. Aku selalu kembali, justru karena begitu sulitnya, justru ke tempat yang sama dengan semua kehilangan-kehilangan itu, justru ke tempat di mana Emak selalu bilang, dengan angkuhnya: aku di sini, dan kami masih hidup. Bunuh kami jika kau bisa. Dan bukanlah hanya untuk Emak kalau aku jaga Ngkong, manusia baik seperti dia, kakek yang tak pernah kulihat, sangat dekat di dalam nyaliku. Tintin Wulia #living1965 #1965setiaphari |
Archives
September 2017
Kontributor
All
|