Kak Sri Sunardi adalah arsitek Bumi Pramuka Cibubur dan memiliki tanda kecakapan tertinggi yang dikeluarkan oleh World Organization of the Scout Movement (WOSM), organisasi kepanduan internasional. Ia menikah dengan seorang pengajar kiri di Fakultas Pedagogi UGM pada tahun-tahun enampuluhan.
Ketika saya pulang dari Nusakambangan pada pertengahan tahun 1966 dalam keadaan compang-camping, kurus penuh bekas kudis seperti gelandangan, Mbak Sri Sunardi membuatkan saya celana pendek yang dibuatnya dari baju salah satu tapol perempuan muda di Bastion, Fort Willem Een.* Ketika beliau bebas lebih dahulu saya diberi selembar saputangan dan menerangkan bahwa saputangan itu pemberian Mas Sunardi suaminya ketika berpamitan untuk pergi meninggalkan Fort Vredeburg untuk selama-lamanya. Mbak Sri berpesan kepadaku untuk menyimpannya karena beliau tidak kuasa untuk menyimpannya sendiri. “Simpan baik-baik ya Dja!”, ia berkata sambil memelukku dan menangis. Saputangan itu saya bawa terus sampai ke Buru dan akhirnya pulang, bebas pada tahun 1979. Selembar kain persegi bersejarah itu saya simpan baik sampai sekarang. Tedjabayu Sudjojono #1965setiaphari #living1965 * Fort Willem Een berlokasi di Ambarawa.
0 Comments
Aku ingat pertama kalinya aku “came out”. Sepertinya sekitar tahun 2003, lima tahun setelah Soeharto turun takhta dengan porak porandanya. Aku masih menjaga rahasia keluargaku tentang 1965 dengan sangat teliti - ini satu-satunya akarku sejak lahir.
Hari itu, kami bersepuluh, teman-teman sejak masa kuliah, makan siang. Seperti biasanya, memupuk kebersamaan, kami ngomel tentang Soeharto. Ya, lima tahun setelah rejimnya katanya hilang pun, kegiatan ini masih relevan. Tiba-tiba, tanpa pikir panjang, mulut besarku menyalib akal sehatku dan keluarlah semuanya. “Kakekku kan hilang tahun 1965. Diambil dari rumah, ngga pernah kembali.” Saat itu juga, aku merasa mesti menghilangkan diri. Jantungku berdebar begitu kerasnya dan cepatnya, seolah-olah mengeluarkan semua pendapatnya karena sebentar lagi mati. Pemikiran rasional pertama yang muncul di otakku adalah, “Siapa ya di antara orang-orang ini yang akan bunuh aku sekarang ini?” Beberapa detik kemudian, di ujung meja sana, seseorang berkata pelan, “Kakekku kan juga sempat dipenjara. Tapi kemudian dibebaskan.” Duabelas tahun sudah aku kenal orang-orang ini, dan tidak sekalipun kami bicara di depan umum tentang 1965. Dalam hanya beberapa detik hari itu, dua di antara sepuluh came out. Berapa banyak di luar sana yang seperti kami? Tintin Wulia #1965setiaphari #living1965 Selamat Siang, salam sejahtera untuk kita semua.
Yang terhormat Bapak Erwan Agus Purwanto Ph.D, dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Yang terhormat Bapak Hilmar Farid Ph.D, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia. Yang terhormat Para Pengajar dan Civitas Academika Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Yang terhormat saudara-saudara hadirin. Siang ini adalah hari yang penting untuk saya, yaitu “pulang” ke “rumah” besar almamater bernama Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada. Dahulu bernama jurusan Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik (HESP) yang bertempat di pagelaran, alun-alun utara. Sesudah 51 tahun “si anak hilang” telah ditemukan oleh “ibu”nya. Limapuluh satu tahun sungguh waktu yang panjang dalam sejarah. Dan waktu itu masih bisa lebih panjang lagi jika kita tidak berbuat sesuatu. Jika kita tidak berani mengambil tindakan memutus rantai kebisuan. Terimakasih untuk Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, khususnya bapak dekan yang telah mengambil tanggungjawab untuk melawan upaya pelupaan yang tak kenal henti. Karena selama lima puluh tahun kita telah menjadi bagian dari sistem politik yang memaksakan tentang apa yang harus diingat dan apa yang harus dilupakan. Sehingga kita kehilangan kesadaran dan ingatan masa lalu yang sangat penting untuk menata kembali kehidupan masa kini. Penghargaan ini bukan untuk saya pribadi tetapi untuk beratus-ratus teman yang hilang dan tidak kembali. Penghargaan ini juga untuk mengingat dan memaknai suara dan martabat korban 65, sebagai upaya untuk pengungkapan kebenaran, rehabilitasi serta rekonsiliasi. Saya mengucapkan terimakasih kepada isteri dan anak-anak saya yang dengan penuh rasa cinta dan kasih bersama berjuang dalam ziarah kemanusiaan untuk menabur benih keadaban dan keadilan. Saya akan menutup dengan puisi untuk almarhum sahabat saya Bung Ibnu Santoro (dosen Fakultas Ekonomi), almarhum Bung Sunardi (dosen Fakultas Pedagogi) dan untuk para mahasiwa UGM, yang hilang di tahun 65-66. Hersri Setiawan #1965setiaphari #living1965 |
Archives
September 2017
Kontributor
All
|