[...]
Kamar hotelku terasa menjadi terlalu kecil, terlalu gelap, dan terlalu sesak. Aku berjalan-jalan keluar, sampai ke Kali Brantas. Alangkah indah pemandangannya. Gunung-gunung, bukit-bukit dan sungai yang teramat lebar. Aku berjalan menyusuri tebingnya. Dan berhenti di depan sebuah rumah. Di sana kakak iparku pernah tinggal di masa sekitar Peristiwa 1965. Aku mencoba membayangkan, apa yang tentunya pernah dilihatnya selama tahun itu. Dan sepanjang tahun-tahun berikutnya juga. Ia pasti pernah lihat betapa kali ini berwarna darah. Darah yang tumpah. Darah orang-orang yang tak bersalah. Sementara melihatnya pastilah ia cemas akan nyawa suaminya, anak-anaknya, dan tentu saja juga nyawa dirinya sendiri pula. Korban-korban untuk apakah itu? Mayat-mayat direnteng dengan batang bambu. Seperti tikus-tikus. Dan dihanyutkan ke muara di kali ini. Arus Kali Brantas membawa tragedi itu sampai ke Surabaya. Di sana kali Brantas masuk ke Laut Jawa. Aku bisa membayangkan, apabila dia tidak tahan menyaksikan pemandangan itu, dan tidak tahan merasakan ketakutannya. Ia menderita sakit di sepanjang sisa hidupnya. Ketakutan merajai dirinya. Ketakutan akan nasib suaminya, anak-anaknya, dan bahkan cucu-cucunya yang belum lagi lahir. Selama ini ia tidak akan pernah mengaku sebagai kakak iparku, kepada barang siapa pun yang tidak termasuk dalam sebutan keluarga. Ia tidak bisa. Karena bahaya ada di mana-mana. Kali Brantas telah mengotori dia. Seperti juga terhadap orang-orang lain yang tak terbilang banyaknya. Sejurus dua jurus kupejamkan mataku. Lalu kupandangi lagi kali itu. Hatiku menjadi tenang karenanya. Kini tidak ada lagi bangkai-bangkai hanyut. Sebuah sungai belaka di tengah-tengah indahnya pemandangan. Suatu hari kelak sungai ini akan menumbuhkan bunga-bunga. Bunga-bunga merah dan putih. Sebanyak seperti bangkai-bangkai yang dibawa hanyut oleh arusnya ke Laut Jawa. Anak-anak akan mandi bersimburan di sana, dan pada menghiasi diri dengan bunga-bunga merah dan putih itu, serta saling bisik-membisiki: Tragedi telah hilang. Kebenaran telah datang. Lihatlah itu kembang-kembang! Selamat tinggal Indonesia. Kusampaikan bagimu harapanku, airmataku, dan cintaku. Ruth Havelaar #1965setiaphari #living1965 Kutipan dari cerita yang telah diterbitkan dalam Selamat Tinggal Indonesia. Jakarta: Lentera (1995), Pustaka Utan Kayu (2000).
0 Comments
|
Archives
September 2017
Kontributor
All
|