Ada kejadian awal tahun 1960an yang pernah diceritakan ibu kepada saya, yang selalu saya ingat.
Saat itu, Presiden Soekarno dan ayah saya, ketua komite sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) Dipa Nusantara Aidit, sedang berkunjung ke Kuba. Mereka bertemu dengan Fidel Castro, Mao Tje Tung dan Che Guevara di sana. Seperti biasanya, Fidel mengeluarkan cerutu Havana kebanggaannya, dan menawarkannya kepada semua tamunya. Ayah menolak. Fidel, Mao, Che dan Soekarno mulai menikmati cerutu mereka, sambil mengolok-olok ayah. “Seorang pejuang rakyat harus bisa menikmati cerutu di waktu senggangnya,” kata mereka. Keempat pemimpin besar itu pun terus memperagakan bagaimana gagah dan nikmatnya menghisap cerutu. Ayah mulai tertarik, dan mengambil sebuah cerutu. Soekarno tampak tidak bisa menahan gelinya - dia tertawa terbahak-bahak. Kepada Mao, Fidel dan Che dia hanya berkata, “lihat saja, ini bakal jadi lucu.” Benar saja, tak lama kemudian, begitu ayah mencoba hisapan pertama, dia terbatuk-batuk hebat. Mao, Fidel dan Che ikut terpingkal-pingkal bersama Soekarno, sambil terus mengolok-olok ayah. Akhirnya, ayah menyerah. Dengan muka memerah, dia letakkan cerutu yang baru terbakar itu ke sebuah asbak. Soekarno sangat kenal ayah dan tahu benar bahwa ayah saya tidak pernah merokok. Apalagi cerutu! Kejadian ini diceritakan ayah kepada ibu sepulangnya ke rumah. Kata ibu waktu itu, “Ya sudah, mungkin saatnya kau mulai belajar menghisap cerutu seperti mereka-mereka itu." Jadi, beberapa hari kemudian, malam-malam ayah menanyakan pada ibu di mana cerutu oleh-oleh dari Fidel disimpan. Ibu tersenyum penuh pengertian. Inilah malam di mana suaminya, Dipa Nusantara Aidit, ketua komite sentral PKI, partai komunis terbesar di dunia, akan mulai belajar menghisap cerutu. Ayah mulai membakar cerutu itu. Namun seperti sediakala, kembalilah dia terbatuk-batuk hebat. Kali ini ibulah yang terpingkal pingkal. Dia bisa bayangkan bagaimana para tokoh komunis itu melihat ayah: persis seperti saat itu dia menyaksikan betapa parahnya ayah menghisap cerutu. Ilham Aidit #1965setiaphari #living1965 Foto: karya Agan Harahap (kiri), dan koleksi Ilham Aidit (kanan).
0 Comments
Umur saya 9 tahun waktu film ini keluar di tahun 1984. Tanpa tahu apa-apa kami diboyong ke gedung bioskop (sebelumnya orang tua disuruh bayar) dan dipaksa menonton film sadis ini. Selama bermalam-malam saya mengalami mimpi buruk tapi juga sedih dan marah pada PKI, yang seperti digambarkan di film itu, membunuh Ade Irma Suryani yang masih kecil seperti saya.
Orang tua saya selalu bilang: “ga usah dipikirin. Itu cuma film.” Setelah SMP kelas 2/3 dan mulai baca-baca buku saya baru mengerti maksud orang tua saya. Mereka berusaha mengimbangi propaganda Orba dengan cara yang sangat halus. Mereka bermaksud bilang bahwa film ini isinya tidak benar, tapi tidak disampaikan dengan gamblang karena takut sebagai bocah saya keceplosan di depan guru. Dan baru setelah usia remaja itulah orang tua saya, terutama Ibu, mulai terbuka mengajak diskusi soal isu '65 ini. Saya beruntung punya orang tua yang bisa mengimbangi propaganda Orba tersebut. Tapi tidak semua anak seberuntung saya. Banyak anak yang tumbuh meyakini kebohongan-kebohongan Orba itu. Dan sekarang, 19 tahun setelah reformasi, pengalaman saya (dan semua anak generasi saya) tengah berulang pada banyak anak kecil di negara ini. Semoga mereka juga terselamatkan seperti saya. Semoga. Dhyta Caturani #1965setiaphari #living1965 |
Archives
September 2017
Kontributor
All
|