Saya memilih untuk menyamarkan nama saya dalam membagi cerita ini, karena keluarga meminta agar saya tidak membuat proyek tentang kakek – Ayah dari Ibu – saya. Beberapa tahun yang lalu, saya mengetahui kakek dipenjarakan sesudah peristiwa 1965.
Orang tua saya jarang membicarakan kakek. Mereka hanya bilang kakek sudah meninggal sebelum saya lahir. Hampir seumur hidup saya, hanya itu saya tahu tentangnya. Saya tidak mengenal namanya, saya tidak pernah lihat fotonya, seolah-olah kakek tidak pernah ada. Beberapa tahun yang lalu, saya membicarakan film Jagal dengan Ayah. Kemudian saya tanya apakah ada korban yang mungkin kita kenal. Pada saat itulah, Ayah bercerita bahwa kakek saya, yaitu mertuanya, dipenjarakan sesudah perisitwa itu dan baru dibebaskan pada tahun 1980. Saya jadi sadar kenapa mereka tidak pernah membicarakannya. Pada saat itu, perasaan saya bermacam-macam. Saya kaget mendengar apa yang terjadi dengan keluarga saya. Pada saat yang sama saya juga merasa sangat terganggu. Kenapa orang tua saya tidak pernah membicarakannya selama dua puluh tahun? Beliau adalah kakek saya, bukankah saya mempunyai hak untuk mengetahui riwayat hidupnya? Saya langsung sadar beban berat yang dijatuhkan kepada nenek saya dan anak-anaknya. Bagaimana tiba-tiba kehidupannya sangat berubah dan semuanya menjadi perjuangan. Ini merupakan masa dalam kehidupannya yang sangat menyakitkan untuk diingatkan. Dan masa itu belum dirasa bermartabat. Sampai sekarang, peristiwa ini tetap dianggap tabu. Sejak saya mengetahui nasib kakek, saya mencurahkan diri saya untuk belajar tentang kehidupannya dan cobaan yang dihadapinya. Saya berusaha untuk mengembangkan sebuah proyek seni untuk memberi peristiwa ini martabat yang sepantasnya. Akan tetapi, keluarga saya memilih untuk membiarkan yang sudah berlalu daripada membuka luka lama. Mudah-mudahan satu hari saya tidak hanya bisa terbuka tentang peristiwa ini kepada orang lain, tetapi juga kepada keluarga saya. Anonim #1965setiaphari #living1965
0 Comments
Ayah saya adalah pengusaha tailor. Para tukang jahit yang dipekerjakan ayah saya di rumah rata-rata berasal dari Klaten dan Solo. Di tahun 80an, saat saya masih di bangku SD, saya mendapati ruangan paling belakang - yang biasanya hanya ramai dengan suara banyak mesin jahit - tiba-tiba riuh dengan pembicaraan soal tubuh-tubuh yang dibantai dan dilemparkan ke sungai yang membuatnya berubah merah.
“Tentara yang bantai orang-orang itu.” “Ora mung tentara. Wong-wong sipil sing dikongkon tentara yo akeh sing mateni.”* “Iya, mereka dianggap PKI, lalu dibunuhi kayak ayam. Diputus kepalanya lalu dibuang ke kali.” Horor sekali cerita mereka. Saya tak tahu apa yang membuat mereka mulai bicara tentang kisah horor itu. Saya menduga pemicunya adalah film Pengkhianatan G30S/PKI yang baru saja diluncurkan di bioskop lalu beberapa saat kemudian dijadikan tayangan di TVRI. Saya ingat saya dan murid-murid lain dibawa guru untuk menonton film itu di gedung pertunjukan. Saya juga ingat beberapa kali saya terpaksa menutup mata dengan tangan karena adegan-adegannya yang penuh darah dan kekejaman. Saya ingat saya yang masih kecil itu kemudian memandang PKI sebagai sesuatu yang membangkitkan rasa ngeri. Salah satu tetangga saya, Pak X, yang saya dengar ada sangkut-pautnya dengan PKI, suka saya amati diam-diam seolah-olah setiap detiknya akan ada kemungkinan ia mengeluarkan sesuatu yang tajam dan akan membunuh semua orang dengan kejam. Yang saya herankan, kedua orangtua saya kok biasa-biasa saja setiap bertemu dengan Pak X. Malah mereka sering mengobrol selayaknya kawan akrab. Ketika saya tanyakan kepada orangtua saya kenapa berteman dengan Pak X yang katanya orang PKI, jawaban mereka tidak panjang, “Memangnya kenapa kalau orang PKI? Pak X orang baik.” Saya bingung. Ketika saya dengar cerita horor tentang sungai merah di ruang belakang itu, yang sebagian diceritakan oleh mereka yang katanya melihat sendiri, saya tak tahan untuk tidak bertanya, “Jadi yang jahat sebenarnya siapa sih?” Mereka yang mendengar pertanyaan saya hanya saling memandang satu sama lain. Tak ada jawaban jelas. Beberapa saat kemudian ruangan pun hening dari suara orang bercakap-cakap. Hanya suara mesin jahit yang terus berbunyi. Dan pertanyaan saya di tahun 80an itu adalah satu dari pertanyaan awal yang kemudian bertumpuk-tumpuk di tahun-tahun berikutnya tentang benar tidaknya sejarah buatan Orde Baru tentang PKI dan 1965. Sari Safitri Mohan #1965setiaphari #living1965 * Terjemahan bahasa Jawa: “Tidak cuma tentara. Orang-orang sipil yang disuruh tentara juga banyak yang membunuh.” |
Archives
September 2017
Kontributor
All
|