#1965setiaphari
  • pulang
  • tentang
  • kontak
  • 1965setiaphari

#1965setiaphari

Papua Barat, 1965

1/8/2017

0 Comments

 
Pada tahun 1969, setelah berhasil menghancurkan sebagian besar basis-basis dari kelompok rakyat yang sering disebut sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, Brigjend Sarwo Edhie Wibowo datang ke Papua Barat, kali ini sebagai Panglima dari Kodam XVII/Cenderawasih. Ia bertugas ‘mengamankan’ apa yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Yang dimaksud dengan mengamankan itu adalah menurunkan roket di Enarotali, Pegunungan Tengah setelah pesawat Sarwo Edhie ditembak sekelompok polisi. Seperti dilaporkan New York Times, Indonesia menolak tuduhan bahwa mereka telah membom warga sipil. Tapi siapa yang peduli? Siapa yang peduli apa yang terjadi di Enarotali pada tahun itu dan tahun-tahun selanjutnya? Siapa yang peduli apa yang terjadi di Biak dan Manokwari di tahun 1965 dan tahun-tahun selanjutnya?

Dua bulan sebelum peristiwa September 30, 1965, ribuan orang Papua dibunuh oleh pasukan militer Indonesia dalam sebuah operasi bernama “Operasi Sadar”. Menurut al Rahab (2006), operasi di bawah komando Pangdam Brigjen R. Kartidjo bertujuan tentu saja bukan untuk menyadarkan, tapi untuk menghancurkan kelompok perlawanan Papua Barat yang di bulan Juli 1965 melancarkan perlawanan terorganisir pertama terhadap Indonesia. Militer Indonesia menamakan mereka Organisasi Papua Merdeka.

Namun beberapa tahun kemudian, para jenderal berganti pikiran. Maka dinamakanlah kelompok-kelompok bersenjata orang Papua ini sebagai gerakan pengacau liar (GPL) lalu gerakan pengacau keamanan (GPK). Sekarang ini mereka juga disebut kelompok kriminal bersenjata (KKB). Pada umumnya militer Indonesia berpendapat, orang Papua tidak memiliki motif lain selain menjadi pengacau atau kriminal dengan membakar markas-markas tentara. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Gatra di tahun 1966, Letnan Kolonel (purnawirawan) D. Tandigu mengatakan bahwa gerakan OPM bukan dimotivasi oleh nasionalisme, melainkan oleh sikap frustrasi.

 
Tapi entah mengapa, Indonesia sepertinya tidak pernah bisa mengendalikan perasaan orang Papua itu. Kalau hanya karena frustrasi, tentu saja orang Papua sudah bisa bahagia dengan NKRI. Toh, Indonesia mengatakan telah mampu membangun orang Papua dan menjadikan mereka bagian dari rakyat Indonesia. Indonesia mengklaim dirinya telah membebaskan orang Papua dari penjajahan. Tapi mengapa orang Papua tidak pernah merasa bebas di bawah Indonesia? Itu pertanyaan sulit, bukan?

Veronika Kusumaryati
#1965setiaphari
#living1965
0 Comments

    Archives

    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    March 2017
    February 2017
    December 2016
    October 2016
    September 2016
    June 2016
    May 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    October 2014
    February 1989

    Kontributor

    All
    Anita Sobron
    Anonim
    Danang Sutasoma
    Dhyta Caturani
    Hersri Setiawan
    Heru Hikayat
    Ilham Aidit
    Ken Setiawan
    Mikael Johani
    Rahung Nasution
    Randy
    Rangga Purbaya
    Ratrikala Bhre Aditya
    Ruth Havelaar
    Sari Safitri Mohan
    Sri Nasti Rukmawati
    Tedjabayu Sudjojono
    Tintin Wulia
    Veronika Kusumaryati
    Whisnu Yonar
    Wulan Dirgantoro
    Zely Ariane

    RSS Feed

Site powered by Weebly. Managed by PowWeb
  • pulang
  • tentang
  • kontak
  • 1965setiaphari