Setelah aku ingat-ingat semenjak aku remaja, bapakku tidak pernah melihat langsung ke mataku setiap kali kami bercakap-cakap. Dia cenderung melihat ke televisi, koran atau ke luar jendela bila dia sedang menyetir atau disetiri. Kesempatan kami mengobrol memang jarang sekali karena dia bekerja di luar kota dan hanya pulang di akhir minggu.
Kemudian aku beranjak dewasa dan mulai membaca tulisan-tulisan yang kritis terhadap Orde Baru, terutama tentang peristiwa 65. Aku ingat bahwa aku merasa marah sekali karena rasanya dibohongi habis-habisan selama duapuluh tahun hidup di jaman Orde Baru. Sewaktu buku John Roosa dilarang terbit di Indonesia, dan begitu versi onlinenya muncul aku langsung mengunduh buku tersebut. Aku berencana untuk menjilidnya untuk hadiah pensiun bapakku. Aku berharap kami akhirnya bisa mengobrol tentang peristiwa 1965 dan masa mudanya di Tulungagung. Ibuku kemudian bercerita kalau kakekku sempat masuk penjara selama tiga hari sewaktu huru-hara 1965-66. Karena dia pernah jalan-jalan ke Uni Soviet (disponsori oleh koperasi tekstil Indonesia) dan juga karena dia anggota PNI. Ibuku sempat membawakan makan dan baju ganti untuknya sewaktu dia di penjara. "Kok Ibu dan Mbah nggak pernah cerita?" tanyaku. "Buat apa? Toh, Abah ke luar tiga hari kemudian dan itu sudah masa lalu. Ibu malah tidak ingat kalau dia pernah masuk bui kalau kamu nggak nanya" jawabnya. Rupanya benar kalau kekerasan di jaman itu memang sudah dinormalkan oleh penulisan sejarah. Bapakku akhirnya pensiun tapi aku tidak pernah memberikan buku itu. Ketika dia meninggalkan kami sampai akhirnya kami bertemu lagi beberapa tahun kemudian, dia masih tidak berani melihat mataku. Wulan Dirgantoro #1965setiaphari #living1965
0 Comments
|
Archives
September 2017
Kontributor
All
|