Tahun lalu, di kampungku, Bireuen, Aceh Utara, ada kumpul keluarga. Nenekku waktu itu sakit. Aku tidak begitu dekat dengan keluarga, khususnya nenekku ini, ibu dari ibu tiriku. Aku tidak punya emosi khusus terhadap dia. Datar saja.
Satu waktu, bapakku cerita soal dua adik nenekku itu. Yang perempuan ternyata pernah jadi simpatisan Gerwani. Dia pandai menari, katanya. Aku kenal dia, sekarang masih hidup. Tapi adiknya yang satu lagi, laki-laki, hilang entah ke mana. Rupanya dia ketua Pemuda Rakyat Bireuen atau kampung itu, kalau aku tidak salah ingat. Cerita bapakku saat itu bikin aku ingin bicara dengan nenek. Aku masuk kamarnya, dan dia cerita, “Adik nenek itu anaknya ganteng, baik sekali, orang-orang suka sama pembawaannya. Nenek ngga ngerti ke mana dia dibawa. Padahal waktu itu dia sedang bersiap menikah. Nenek juga ngga ngerti kenapa orang-orang kampung tiba-tiba marah dan benci dia, lalu dia menghilang. Nenek tidak tahu dia ke mana, sampai sekarang. Kenapa orang-orang bisa begitu, ya?” Matanya tergenang. Aku merunduk saja. Aku bilang kepadanya, “Nek, sekarang orang-orang sudah banyak yang bicara masalah ini. Informasi baru makin banyak, orang yang bela juga makin banyak,” Dia merespon, “Ya, makanya nenek tidak suka nonton sinetron, suka berita, seperti Mata Najwa di MetroTV. Nenek ikutin soal Munir.” Dia lalu tanya setelah diam sejenak, “Aduh, Ayie, kamu tidak cape pikir soal-soal ini terus?” Aku tertawa keras sekali, tidak tahu mesti jawab apa. Cerita nenek sebetulnya bikin aku ingin riset sederhana soal adik-adiknya itu. Tapi waktu dan pilihan konsentrasiku tidak memungkinkan. Aku memilih fokus membantu teman-teman Papua, karena sangat sedikit yang melakukannya. Aku menempatkan Papua sejak ’63 serupa ’65: daya rusak generasinya, stigmanya, korban-korbannya. Keduanya adalah dosa sejarah pendiri Indonesia pasca ’65. Zely Ariane #1965setiaphari #living1965
0 Comments
Sekitar tahun 2009, ketika sedang patah hati berat, aku kebetulan mendapat buku catatan almarhumah Ibu Sulami dan almarhumah Ibu Sudjinah, dua pimpinan Gerwani yang tetap aktif setelah 1965. Sepanjang jalan dari Bekasi ke Jakarta aku habis baca buku itu. Cerita mereka bikin serasa masalah-masalah hidupku jadi tidak seberapa. Aku jadi malu sendiri. Sejak saat itu, kisah-kisah tahanan perempuan ’65 selalu bikin langkah perjuanganku sebagai perempuan jadi tambah ringan.
Tapi itu bukan kali pertama aku bersentuhan dengan 1965 - justru pertama kalinya ketika Ibu Sulami masih hidup. Waktu itu tahun 2003. Aku ikut jadi kru film dokumenter kecil tentang peran partai Golkar dalam peristiwa seputar ’65. Kami mewawancarai beberapa penyintas. Ibu Sulami waktu itu sudah sulit berjalan. Sutradara memintanya menceritakan peristiwa penyiksaan yang dialaminya. Cerita mengalir lambat tapi jelas dari bibirnya. Wajahnya datar. Tidak ada ekspresi. Kata-kata 'Ah' berkali-kali keluar dari mulutnya. Dia bilang, “Saya rasa itu sulit untuk dilupakan, sulit untuk dilupakan,” yang kemudian jadi judul versi pendek film dokumenter itu. Waktu Ibu Sulami masuk kamar, aku bantu papah. Aku tidak tahu mesti bicara apa. Aku tanya dengan agak bodoh, “Ibu sekarang bagaimana?” Ibu Sulami menjawab sambil agak tersenyum kecut, “Rasanya takut kalau tidur malam. Takut paginya bangun masih ada di ’65.” Zely Ariane #1965setiap hari #living1965 Apa itu September?
Ujung waktu, berhenti di tanggal tiga puluh Rencana busuk bertemu yang baik? Tak bertegur sapa, tak saling tahu Polisi dunia mengamati, mempersiapkan diri? Politisi mengendap-endap, harap-harap cemas? Petinggi Angkatan Darat bergegas, wajah-wajah ketat siap berangkat Senjata, perangkat dan pasukan sosial menunggu perintah? Para pembaharu beraktivitas seperti lalu lalu Lima puluh tahun lalu Setelah itu September selalu kelabu Kematian dipaksakan, senjata jadi tuan, kapital jadi Tuhan Orang-orang biasa kehilangan harapan Dalam memori luka tak berkesudahan Kalah walau belum ditundukkan Lalu datang Oktober Koran-koran angkatan darat menuding perempuan Perusak moral menghina kesucian masyarakat Ratusan ribu nyawa hilang Mungkin juta Siapa peduli Masyarakat mengamuk, katanya Tahu dari mana mesti mengamuk pada siapa? Berjenis kematian, beragam penyiksaan Anda perlu menu dan hidangan macam apa? Lima puluh tahun lalu Setelah itu Oktober tak pernah sama lagi Tentara pahlawan, Komunis pendosa Perempuan lacur musuh bangsa Perempuan patuh tiang negara Rakyat kebanyakan bekerja kebanyakan Kapital berjaya keluarga sentosa Kematian demi kematian terus datang tak diundang Bukannya tak ada perlawanan Tapi hidup yang baik memang susah Banyak kepala batu, banyak penipu, berjibunnya para pemain harapan Keadaban digerus kapital Keberanian tak berkawan dengan kebutuhan hidup Walau demikian, entah bagaimana, nama-nama terus maju ke depan Matahari masih bersinar, walau tak merata di semua tempat Bila September adalah persiapan untuk kematian Oktober, maka sepuluh bulan lainnya adalah pertarungan, untuk kehidupan. Zely Ariane #1965setiaphari #living1965 |
Archives
September 2017
Kontributor
All
|