Dua laki-laki ini adalah kakekku. Djauhar Arifin Santosa adalah ayah dari ibuku, sedangkan Boentardjo Amaroen merupakan ayah dari bapakku. Mereka sudah lama saling mengenal, jauh sebelum ibu dan bapakku menikah - mungkin sejak Perang Kemerdekaan. D. A. Santosa adalah tentara PETA (Pembela Tanah Air) dan Boentardjo seorang pejuang gerilya di daerah Klaten di bawah pimpinan Dr. Tjokronegoro. Setelah Indonesia merdeka, D. A. Santosa dan Boentardjo tidak melanjutkan karir militer mereka, tapi mengabdi sebagai guru di Perguruan Taman Siswa.
Saat peristiwa 65 terjadi, mereka ditahan di bulan yang sama, November 1965. D.A. Santosa ditahan di Semarang, lalu diadili di Cilacap dan divonis dua puluh tahun penjara. Boentardjo ditahan di Wirogunan, Jogjakarta, dan tidak pernah kembali setelah hilang antara Februari-April 1966. Kemerdekaan mereka dirampas karena dituduh memberontak pada pemerintahan yang sah. Kemudian pemerintahan tersebut juga dilengserkan karena dianggap terlibat Peristiwa 65. Tidak ada alasan satupun yang bisa diterima akal sehat atas apa yang terjadi pada Tragedi 65 dan segala yang menyertainya. Alasanku menceritakan kisah D. A. Santosa dan Boentardjo Amaroen adalah karena sejarah tak pernah bisa ditutupi. Karena aku ingin mereka tetap ada dalam kehidupanku, keluargaku serta teman-temanku. Dan karena mereka adalah kakekku. Danang Sutasoma #1965setiaphari #living1965
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
September 2017
Kontributor
All
|