Aku ingat pertama kalinya aku “came out”. Sepertinya sekitar tahun 2003, lima tahun setelah Soeharto turun takhta dengan porak porandanya. Aku masih menjaga rahasia keluargaku tentang 1965 dengan sangat teliti - ini satu-satunya akarku sejak lahir.
Hari itu, kami bersepuluh, teman-teman sejak masa kuliah, makan siang. Seperti biasanya, memupuk kebersamaan, kami ngomel tentang Soeharto. Ya, lima tahun setelah rejimnya katanya hilang pun, kegiatan ini masih relevan. Tiba-tiba, tanpa pikir panjang, mulut besarku menyalib akal sehatku dan keluarlah semuanya. “Kakekku kan hilang tahun 1965. Diambil dari rumah, ngga pernah kembali.” Saat itu juga, aku merasa mesti menghilangkan diri. Jantungku berdebar begitu kerasnya dan cepatnya, seolah-olah mengeluarkan semua pendapatnya karena sebentar lagi mati. Pemikiran rasional pertama yang muncul di otakku adalah, “Siapa ya di antara orang-orang ini yang akan bunuh aku sekarang ini?” Beberapa detik kemudian, di ujung meja sana, seseorang berkata pelan, “Kakekku kan juga sempat dipenjara. Tapi kemudian dibebaskan.” Duabelas tahun sudah aku kenal orang-orang ini, dan tidak sekalipun kami bicara di depan umum tentang 1965. Dalam hanya beberapa detik hari itu, dua di antara sepuluh came out. Berapa banyak di luar sana yang seperti kami? Tintin Wulia #1965setiaphari #living1965
1 Comment
Selamat Siang, salam sejahtera untuk kita semua.
Yang terhormat Bapak Erwan Agus Purwanto Ph.D, dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Yang terhormat Bapak Hilmar Farid Ph.D, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia. Yang terhormat Para Pengajar dan Civitas Academika Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Yang terhormat saudara-saudara hadirin. Siang ini adalah hari yang penting untuk saya, yaitu “pulang” ke “rumah” besar almamater bernama Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada. Dahulu bernama jurusan Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik (HESP) yang bertempat di pagelaran, alun-alun utara. Sesudah 51 tahun “si anak hilang” telah ditemukan oleh “ibu”nya. Limapuluh satu tahun sungguh waktu yang panjang dalam sejarah. Dan waktu itu masih bisa lebih panjang lagi jika kita tidak berbuat sesuatu. Jika kita tidak berani mengambil tindakan memutus rantai kebisuan. Terimakasih untuk Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, khususnya bapak dekan yang telah mengambil tanggungjawab untuk melawan upaya pelupaan yang tak kenal henti. Karena selama lima puluh tahun kita telah menjadi bagian dari sistem politik yang memaksakan tentang apa yang harus diingat dan apa yang harus dilupakan. Sehingga kita kehilangan kesadaran dan ingatan masa lalu yang sangat penting untuk menata kembali kehidupan masa kini. Penghargaan ini bukan untuk saya pribadi tetapi untuk beratus-ratus teman yang hilang dan tidak kembali. Penghargaan ini juga untuk mengingat dan memaknai suara dan martabat korban 65, sebagai upaya untuk pengungkapan kebenaran, rehabilitasi serta rekonsiliasi. Saya mengucapkan terimakasih kepada isteri dan anak-anak saya yang dengan penuh rasa cinta dan kasih bersama berjuang dalam ziarah kemanusiaan untuk menabur benih keadaban dan keadilan. Saya akan menutup dengan puisi untuk almarhum sahabat saya Bung Ibnu Santoro (dosen Fakultas Ekonomi), almarhum Bung Sunardi (dosen Fakultas Pedagogi) dan untuk para mahasiwa UGM, yang hilang di tahun 65-66. Hersri Setiawan #1965setiaphari #living1965 Ini salah satu artefak dari Pulau Buru, kiriman dari kakak saya Tedjabayu untuk Ibunda kami. Padi ini adalah "padi kemanten” (padi panen pertama) di Pulau Buru, tahun 1976 dari Unit 1 Wanapura. Komandan Unit ini adalah Lettu CPM Sri Murtonoputro, NRP 309303. Yang mengherankan, meskipun pada umumnya setelah 4-5 tahun biasanya padi jadi kosong, padi kemanten dari Buru itu sekarang pun banyak yang masih berisi, tidak kopong setelah hampir empat puluh tahun. Sri Nasti Rukmawati #1965setiaphari #living1965 Pada ulang tahun saya yang ke-25, saya diberi sebuah bloc note berisi resep masakan yang disenangi keluarga saya. Ayah menyumbang empat resep. Yang pertama adalah resep nasi goreng kesukaan saya waktu kecil. Yang lain adalah “Tiga Menu Tapol G30S”.
Ini resep “sayur kepala”, karena sayur itu dimasak dengan banyak air, sehingga bisa melihat bayangan kepala sendiri; “sayur plastik”, karena papaya muda direbus begitu lama sehingga papaya menjadi transparan, seperti plastik; dan “sayur pentil”, karena batang-batang kangkung merupakan pentil ban. Waktu saya diberi bloc note itu, saya tidak ada rencana untuk memasak resep-resep itu. Tetapi beberapa waktu yang lalu, anak perempuan saya bertanya makanan apa yang diberi kepada kakeknya waktu di penjara? Mungkin satu hari saya bisa mencoba resep itu, supaya anak saya tahu. Membutuhkan waktu semalam untuk mencapai Pulau Buru dengan menggunakan kapal penumpang dari Pelabuhan di Kota Ambon. Ketika tiba di sana, hamparan savana luas di memanjakan mata. Namun di balik keindahan pulau ini, tersimpan cerita tentang kekejaman yang pernah dilakukan oleh Negara ini kepada ribuan tahanan politik.
Pulau yang dipakai sebagai penjara alam ini tidak pernah dimasukan dalam mata pelajaran sekolah. Negara tidak pernah mengakui tentang keterlibatannya membuang ribuan tahanan politik untuk kerja paksa di sana. Pulau ini telah menjadi salah satu lumbung padi di Indonesia bagian timur akibat kerja keras para tahanan politik saat itu. Terus membicarakan dan mendiskusikan keberadaan pulau ini adalah sebagai cara kita terus mengingat bahwa Negara ini pernah ikut andil tragedi kemanusiaan 1965. Pulau ini adalah tempat di mana kita bisa belajar, agar sejarah itu tidak kembali terulang. Whisnu Yonar #1965setiaphari #living1965 Seorang teman bertanya, "dimanakah Pulau Buru?" Aku terkaget mendengar pertanyaannya. Tak pernah terbayangkan pertanyaan itu akan muncul dari seorang kawan yang telah mengenyam pendidikan tinggi hingga ke luar negeri. Ternyata, pendidikan tinggi tidak menjamin pengetahuan sejarah seseorang. Apalagi ketika negara berusaha sengaja menghilangkannya. Mungkin saja informasi tentang pulau ini minim di sekolah atau buku pelajaran. Namun kalau kita coba cari di laman daring 'Google' akan muncul lebih dari 487.000 tautan terkait pulau ini. Sejarah bangsaku tidak selalu dipenuhi dengan cerita kepahlawanan, banyak sisi gelap sengaja dihilangkan demi kepentingan penguasa. Foto monumen ini adalah salah satu dari sedikit sisa artefak yang masih tersisa di Pulau Buru. Sebuah monumen bukti penindasan rezim militer yang dipimpin oleh Soeharto. Whisnu Yonar #1965setiaphari #living1965 Lebih dari dua belas ribu tahanan politik Orde Baru dibuang ke pulau Buru. Sebagian dari mereka meninggal karena siksaan yang keji. Keringat dan darah tahanan politik, merubah pulau yang gersang dan berawa-rawa liar ini menjadi lumbung beras di Maluku. Dari dulu saya tertarik pada apa yang terjadi di negeri ini. Sayangnya, sejarah negeri ini terdiri dari lembaran-lembaran kelam. Karena ketertarikan tersebut, saya juga merasa punya ikatan untuk terlibat. Mengerjakan hal-hal yang mungkin dan bisa saya lakukan. Mengerjakan dokumenter Pulau Buru ini merupakan salah satu tanggungjawab yang mesti dikerjakan karena ikatan tersebut. Kita masih percaya bahwa negeri ini bisa menjadi lebih baik, salah satunya dengan cara tidak berdusta akan masa lalunya yang kelam. Rahung Nasution #1965setiaphari #living1965 Waktu Ayah ditahan, Ayah diberi nomor ini. Tiga, Satu, Sembilan, Enam. Nama dan identitasnya dirampas. Tidak lebih daripada barang yang mau dibuang. Ken Setiawan #1965setiaphari #living1965 Tahanan politik di Indonesia bermacam-macam. Ada petani, atau kaum pekerja kasar yang kebetulan salah tempat dan waktu, kemudian bernasib sial ikut tertangkap dan dibuang. Ada politikus beneran yang partainya kalah dan harus rela menerima konsekuensi jadi kuli sawah. Ada mahasiswa heroik simpatisan partai yang kalah tadi. Ada golongan kaum intelektual super pandai namun lagi-lagi salah ambil sisi ideologi sehingga harus jadi petani. Ada tentara yang salah pilih komandan. Ada juga tentara yang sengaja disusupkan untuk menjadi 'kecoak'. Dari orang-orang dengan jenis di atas, beberapa mau menambah kerepotan diri dengan menulis catatan harian. Ini adalah foto dari salah satu catatan yang mereka buat. Karena kelangkaan buku tulis, satu longkap harus muat dua baris tulisan. Dan agar efisien, harus dibuat rata kanan-kiri. Isinya bermacam-macam. Dari buku harian, hasil hipotesa penelitian ala kadarnya, buku lagu, manual konstruksi bangunan, hingga puisi dan surat cinta. Satu yang sama dari semua catatan tersebut: Lulus Sensor! Ini juga adalah foto sebuah materi riset luar biasa untuk cerita yang sedang saya buat untuk menjadi sebuah screenplay. Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa terlihat bentuk ceritanya. Ratrikala Bhre Aditya #1965setiaphari #living1965 Waktu kakekku "dijemput" dari rumahnya tahun 1965, dia bilang begitu: bahwa dia ngga takut, karena dia ngga bersalah. Tokh, dia tetap hilang begitu saja.
Nenekku, yang kehilangan suaminya - waktu aku tanya kenapa dia ngga cabut aja ke mana kek, kenapa justru kemudian balik lagi, justru ke tempat di mana rumahnya sudah rata dengan tanah untuk membangunnya kembali, bilang hal yang sama: kalau aku pergi, orang-orang akan pikir aku memang bersalah. Aku ngga takut, karena aku ngga bersalah, katanya. Kadang-kadang aku cukup merasa marah mengingat ini - karena dengan prinsip ini mereka tidak hanya mengorbankan diri mereka sendiri, tapi juga seluruh keluarga dan keturunannya. Ada saatnya aku merasa bangga juga, meskipun kupikir kadang merasa bangga karena prinsip ini mungkin sebenarnya cukup naif. Yang aku tahu pasti, meskipun mereka begitu keras kepala, mereka orang-orang yang baik - dan aku ingin jadi seperti mereka. Tintin Wulia #living1965 #1965setiaphari |
Archives
September 2017
Kontributor
All
|