Keluarga mamakku orang Muhammadiyah yang anti-PKI. Setiap lebaran, kami selalu berkumpul di Bekonang, desa kecil di perbatasan Solo dan Sukoharjo, di seberang Bengawan Solo. Sebelum Suharto jatuh, ada satu paman yang suka membanggakan cerita tentang dia menolong menangkap seorang anggota PKI yang dicari-cari. Kebanyakan orang manggut-manggut aja dengar ceritanya. Tentu waktu itu – umurku belum sepuluh – aku tidak tahu bahwa ada pembantaian itu.
Pakdeku selalu menceritakan kisah ini dengan campuran nada horor dan bangga. Sering dia ceritakan sebagai bagian dari cerita-cerita menyeramkan yang dia dongengkan untuk menakut-nakuti keponakannya sebelum tidur. Begitulah cerita itu setiap tahun pasti diulang, tidak pernah ditambah atau dikurangi. Mitologi tentang PKI di dalam keluargaku dibangun bertahun-tahun — kisah standar keluarga Orde Baru sebenarnya — yang membuat mendengar kata “PKI” pun jadi menimbulkan rasa aneh yang menjalar di tubuh. Kalau buatku waktu itu, sama rasanya dengan mendengar kata “Dajjal", “Godzilla", atau “AIDS”. Kemudian aku pindah ke Australia dan besar di sana, kebetulan bersama keluarga dari sisi bapakku yang ternyata punya hubungan lumayan erat dengan orang-orang kiri Indonesia dan selalu mengajakku untuk membaca Pram dan Lenin. Pram aku baca, tapi aku lebih memilih Lovecraft daripada Lenin waktu itu. Bagaimanapun juga, walaupun ABG, aku jadi tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi di tahun ’65-’66, semua cerita yang sebaliknya dari yang dipropagandakan (kata yang baru aku pelajari waktu itu) di tanah air, cerita tentang pembantaian orang-orang PKI, Cornell White Paper, laporan otopsi jenderal-jenderal yang dibunuh di pagi 1 Oktober (tidak ada penyiksaan), dan lain-lainnya. Intinya, aku mengalami paradigm shift (satu lagi konsep yang baru aku pelajari waktu itu) yang komplit. Tapi tentu setiap kali aku liburan ke Bekonang, paradigm shiftku nggak ada artinya. Cerita-cerita lama masih diulang. Pakdeku masih menceritakan cerita yang sama, pada sepupu-sepupu yang lebih muda dan ponakan-ponakan. Keluargaku adalah Muhammadiyah anti-PKI, titik. Tidak ada retak dalam narasi ini, sampai sore itu, di lebaran pertama setelah Suharto jatuh. Waktu itu, sambil duduk-duduk di undak-undakan depan rumah eyang putriku di pinggir jalan raya Bekonang (dekat sekali dengan landmark lokal Tugu Bekonang), seorang sepupuku yang jauh lebih tua (eyangku punya 11 anak) tiba-tiba bercerita (aku terjemahkan dari bahasa jawa), “Dulu kan eyang selalu memberhentikan orang-orang PKI yang mau dibantai di teras ini." “Hah. Oya?" kataku. “Iya, sama eyang dikasih teh manis sama obat merah kalau ada yang luka. Dulu kan eyang punya toko obat." “Oya? Eyang nggak takut?" “Nggak. Aku kadang-kadang disuruh nganterin tehnya. Kalau obat merah yang makaiin selalu dia." Kata sepupuku, dia pernah tanya ke eyangku itu, “Kok ditolongin sih, Yang, kan mereka jahat.” Jawaban eyangku: “Uwong-uwong kuwi yo isih uwong, ben do ngerti isih ono sing nggatekke.” (“Orang-orang itu masih orang, biar mereka tahu masih ada yang peduli.”) Aku antara terkejut dan tidak terkejut mendengar cerita sepupuku ini. Tidak terkejut karena aku sudah membaca dan mendengar banyak orang memang dibantai di daerah sekitar Bekonang, di tepi Bengawan Solo misalnya. Seperti pernah disebutkan di salah satu cerita Martin Aleida yang menyebutkan nama Desa Mojo dan Desa Laban, yang tadinya kukira nama fiktif seperti “Dukuh Paruk”, tapi ternyata memang ada. Tapi aku juga terkejut, karena sebelum Suharto jatuh cerita seperti ini tidak pernah ada. Semua orang hanya tahu bahwa eyang putriku yang pendiam itu ya anti PKI juga, apalagi suaminya Masyumi dan pernah dipenjara. Sore itu, narasi keluargaku selama Orde Baru mulai retak. Penasaran, aku bertanya kepada mamakku apakah benar cerita sepupuku ini. Mamakku juga sangat Islami, dan sering bercerita dengan haru tentang dulu harus mengantarkan rantang makanan ke eyangku yang dipenjara karena dia Masyumi. Mamakku membenarkan cerita sepupuku. Ceritanya sama dengan beberapa detil yang berbeda. Seperti minuman yang disajikan eyang, menurut mamakku, bukan teh manis, tapi air dalam tiga kendi besar yang sudah disiapkan eyangku di teras, yang akan diisi tiap kali habis. Kemudian, bahwa eyangku hanya membantu tawanan-tawanan itu di siang hari, saat suaminya (eyang kakungku yang Masyumi tadi) sedang bekerja di kantor. Kemudian juga, bahwa para korban itu tidak selalu lewat depan rumah jalan kaki, tapi sering juga diangkut di dalam truk dan diturunkan untuk diinapkan dulu di rumah di sebelah rumah eyangku yang dijadikan markas tentara, menunggu rombongan lain. Baru setelah jumlahnya dianggap cukup banyak, mereka diberangkatkan ke tempat eksekusi mereka. Juga bahwa tidak semua korban dibantai di tepi Bengawan Solo, ada juga yang dibunuh di hutan karet di Polokarto. Mamakku juga pernah bertanya kenapa eyangku membantu orang-orang yang mau dibunuh ini, dan jawaban yang dia ingat, eyangku bilang, “Kasihan, mereka pasti haus. kalau ada orang yang haus, kita harus beri mereka minum.” Sama dengan cerita sepupuku juga, eyangku tidak memberitahu mamakku apa yang akan terjadi kepada orang-orang itu, tapi mamakku sudah tahu sendiri. Katanya ia pernah ke tepi Bengawan Solo dan yang lebih membekas dalam ingatannya bukan mayat yang mengapung-apung di permukaan air, tapi baunya. Tapi sampai sekarang cerita-cerita yang sudah retak ini tidak pernah diceritakan di depan keluarga bersama-sama. Hanya akan diceritakan kalau aku tanya dalam kesempatan terpisah. Anehnya, pakdeku sejak Suharto jatuh tanpa alasan yang jelas juga berhenti menceritakan kisah penangkapan PKI-nya yang tadinya legendaris itu. Mungkin suatu hari nanti aku akan tanya ke dia juga soal eyang putriku dan ceritanya membantu tawanan-tawanan PKI di sebelah rumah mereka. Mikael Johani #1965setiaphari #living1965
3 Comments
|
Archives
September 2017
Kontributor
All
|