Bibi saya, Siwi Kartini, yang kami panggil Bu Niniek, adalah anak bungsu di keluarga ayah. Dia lahir tahun 1959. Ketika kakek, Boentardjo Amaroen Kartowinoto, dihilangkan tahun 1965, Bu Niniek masih berumur 6 tahun. Setelah ibunya – nenek saya – meninggal tahun 1967, ia pindah ke Jakarta. Pada akhir tahun tujuhpuluhan Bu Niniek memutuskan kuliah di Yogyakarta. Keluarganya kurang setuju dengan pilihannya, tetapi Bu Niniek meneruskan studinya, karena ia memiliki rencana lain. Niniek selalu berjalan kaki ke kampusnya atau jika ia ingin membeli keperluan studinya. Dia selalu berhenti kalau ketemu dengan seorang lelaki tua di jalan. Karena ayahnya hilang ketika dia masih sangat muda, Niniek sebenarnya kurang mengenal dan sangat merindukan ayahnya. Karena inilah, ia sebenarnya pindah ke Yogyakarta dengan harapan menemukan ayahnya di situ. Tetapi itu tidak pernah terjadi. Foto ini saya ambil di jalan Solo, di Yogyakarta. Saya sengaja memilih lokasi ini karena dulu Bu Niniek tinggal kost di Kepuh, sebuah kampung di jalan Solo dekat dengan kampusnya di Akademi Akuntansi. Kebetulan, pada masa awal saya tinggal di Yogyakarta, teman saya satu-satunya pada waktu itu tinggal di sana. Karena inilah saya sering nongkrong di Kepuh, dan sangat mengenal kampung itu, bahkan sebelum mendengar cerita Bu Niniek. Ketika saya mendengar cerita itu, saya langsung terbayang suasana sehari-hari bibi saya itu. Saya biasa nongkrong sampai pagi di sana, dan mengalami saat-saat di mana suasana jalan Solo menjadi sangat lengang. Situasi inilah yang terbayang ketika saya mendengar cerita bibi saya Niniek. Inilah sebabnya saya memilih menangkap momen dinihari, saat jalanan kosong. Rangga Purbaya #1965setiaphari #living1965
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
September 2017
Kontributor
All
|